Ini cerita remeh yang terjadi beberapa tahun lalu. Cerita ini pernah saya tuliskan di beberapa tempat lain walau hanya dalam satu atau dua paragraf. Biasanya demi memenuhi resume.
Tapi, dibandingkan banyak cerita lain setidaknya cerita ini benar-benar terjadi, walau sudah lama dan sempat terlupakan. Kebetulan tadi siang saya bertemu salah satu orang yang memungkinkan cerita ini terjadi hingga mendorong saya untuk mengingat. Lalu, menuliskannya.
Pada suatu hari…
Di sebuah kelas Filsafat dan Metodologi HI—yang ndilalah di kemudian hari di-asdos-i—saya sempat berpikir kok rasanya kuliah empat tahun nggak banyak hasilnya. Prestasi pas-pasan. IPK cukupan. Sementara tampang rasanya hanya sekadar sisa obralan. Krisis eksistensial ini kemudian saya salurkan ke teman di samping, Ardhy Fitrah, yang di antara sekian Ardi lain di Jurusan HI dikenal oleh khalayak ramai sebagai Ardi Papah.
Di, kita ngapain yuk
Ardi yang waktu itu sudah menjadi suami yang setia dan bertanggung jawab tampak terkejut setelah saya ajak untuk mengapa-ngapain. Hah,”ngapain” Ya? (Ya, itu panggilan dia, yang memenggal nama saya jadi dua dan mengambil buntutnya saja)
Ini… hidup kok rasanya cuma kuliah doing, ngapain gitu yuk.
Kan mau Pemilu juga… Kita adain apa gitu.
Dengan kalem seperti biasanya Ardi menjawab, Oh, boleh. Mau ngapain memangnya?
Belum kepikiran sih. Tapi kalau berdua kayanya susah. Kita ajak… mata saya tertuju pada Antonius aka Peye yang dengan rajinnya duduk di depan… Peye? Kita ajak Peye juga ya.
Itulah alasan kenapa setelah kelas selesai saya menyambangi Peye.
Pey, tadi gue baru ngomong sama Ardi Papah. Kita mau ngelakuin apa gitu menjelang Pemilu. Biar hidup nggak cuma ngejar IPK saja. (patut dicatat bahwa Peye ini sejak semester satu IPK-nya lebih tinggi dibanding penulis maupun sebagian mahasiswa HI yang seangkatan dengan beliau. Sebenarnya dia sudah selesai mengejar IPK sejak lima semester sebelum pembicaraan ini terjadi)
Lo mau ikut nggak?
Oke wir, mulai kapan. (Serius, saya kaget juga, ini bocah langsung mengiyakan tanpa bertanya proyeknya apa)
Belum tahu sih, ini mau diomongin.
Sore itu kami berdiskusi singkat dan memutuskan untuk membuat kegiatan yang bertujuan meningkatkan kesadaran pemilih pemula, terutama siswa SMA kelas 3, di sekitar Bandung. Format kegiatannya belum jelas. Kamipun sebenarnya tidak memiliki ilmu yang matang maupun pengalaman mumpuni untuk menjalankan program tersebut. Gambaran kasar yang disebutkan barusan disketsakan hanya dengan modal tekad.
Dan dengkul.
Tekad dan dengkul.
Dalam diskusi itu juga ada yang mengusulkan untuk mengajak satu lagi orang ke dalam tim. Adik angkatan, supaya ada perspektif yang berbeda. Saya lupa siapa yang mengusulkan. Tapi saya ingat kalau saya mengusulkan Wida karena sebelumnya kita pernah bekerjasama dengan baik. Waktu itu kita sama-sama bekerja sebagai penerjemah dalam Global Civil Society Forum yang diadakan bersamaan dengan UNFCCC 2007 di Bali.
Itulah alasan kenapa setelah diskusi saya menelepon Wida dan bilang…
Wid, mau ngapain gitu nggak?
***
Fast forward sedikit. Selama beberapa bulan persiapan, kami setengah mati mengumpulkan sukarelawan dan mematangkan konsep. Untuk itu, kamipun meminta bantuan ke seluruh penjuru mata angin demi meningkatkan kapasitas kami dan para sukarelawan.
Di tengah-tengah persiapan sempat ada senior yang datang ke kampus untuk kuliah umum. Beliau waktu itu sedang bekerja di Oxfam. Dengan asumsi bahwa beliau memiliki pengalaman jauh lebih tinggi kami kemudian menyampaikan ide beserta nota konsep yang ada untuk beliau komentari.
Ide kami dibantai (dengan sopan, halus, dan konstruktif). Banyak sekali bolong yang harus ditambal. Waktu itu terasa sekali bahwa tekad dan dengkul yang kami miliki ternyata ringkih.
Kami pun memutar otak, kembali ke meja gambar, membongkar kembali desain yang sudah jadi sebagian.
Inget Kang Fulan nggak? Beliau kan kerja di UNDP, gimana kalau kita minta tolong dia? (Saya lupa siapa yang usul)
*Btw ini nama dua seniornya diganti soalnya saya agak sungkan menulis nama beliau-beliau di blog nggak mutu ini. Mereka beken sih.
Ini ide bagus. Bagus ini ide.
Kami sepakat bahwa kami lebih membutuhkan bantuan non-material seperti pelatihan, pematangan konsep, ataupun endorsement. Dalam benak kami meminta bantuan material ataupun finansial tentu lebih membutuhkan waktu.
Ardi Papah merelakan diri untuk pergi ke Jakarta dan mengunjungi markas UNDP untuk bertemu Kang Fulan. Pada sore harinya, Ardi menelepon:
Ya, Alhamdulillah, Kang Fulan mau membantu. Beberapa hari lagi ada temannya yang akan ke Bandung, kita bisa bertemu beliau untuk membahas pelatihan yang kita butuhkan seperti apa.
Pelatihan tersebut menjadi titik balik yang mendorong berlangsungnya kegiatan kami.
Di penghujung hari, kami mencatat bahwa ada sekitar 1.500 pelajar SMA/pemilih pemula yang berpartisipasi dalam kegiatan kami. Ada beberapa kegiatan tambahan yang terlaksana karena pihak SMA yang kami datangi tiba-tiba meminta kami melanjutkan kegiatan di luar rencana awal. Kegiatan tambahan ini tidak tercatat. Saya ingat salah satu estimasi kasar yang memasukkan kegiatan tak tercatat tersebut mendorong jumlah peserta menjadi 1.800 orang. Pelaksanaan kegiatan sendiri dibantu oleh 28 sukarelawan.
4 teman.
28 sukarelawan.
1.500 peserta!
Di luar dugaan, dengkul kami ternyata kuat juga dibawa berlari kencang.
***
Ini bagian penutup. Sebentar lagi tirainya akan turun. Morgan Freeman pun mulai membaca bagian di bawah ini:
Saya yakin cerita ini masih kalah dibandingkan cerita-cerita lain. Ada banyak cerita yang protagonisnya lebih jelas, alurnya lebih tertata, dan kisahnya lebih heroik.
Cerita ini saya tuliskan bukan untuk pamer kok. Dia tersimpan di blog ini supaya saya tidak lupa: bahwa dulu saya sempat ragu, bahwa dulu ada teman-teman yang percaya, bahwa kita pernah berlari bersama, dan akhirnya kita bisa—kalau kata Ardi Papah—carpe diem.
Merengkuh hari.